Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENAMPAKAN TUHAN 6 Januari 2024 : PARA MAJUS MELAYANGKAN MATA KE LANGIT, NAMUN MEREKA MENGINJAKKAN KAKI BUMI, DAN HATI MEREKA TERTUNDUK DALAM PENYEMBAHAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13. Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.

 

Para Majus berangkat mencari Sang Raja yang baru saja dilahirkan. Mereka adalah gambaran orang-orang di dunia yang sedang melakukan perjalanan mencari Allah, gambaran orang-orang asing yang kini dituntun ke gunung Tuhan (bdk. Yes 56:6-7), gambaran orang-orang yang sekarang, dari jauh, dapat mendengar pesan keselamatan (bdk. Yes 33:13), gambaran semua orang yang hilang dan sekarang mendengar isyarat suara yang bersahabat. Karena kini, dalam rupa Bayi Betlehem, kemuliaan Tuhan telah dinyatakan kepada seluruh bangsa (bdk. Yes 40:5) dan “semua orang akan melihat keselamatan dari Allah” (Luk 3:6). Ini adalah peziarahan umat manusia, kita masing-masing, bergerak dari kejauhan menuju kedekatan.

 

Para Majus melayangkan mata ke langit, namun mereka menginjakkan kaki bumi, dan hati mereka tertunduk dalam penyembahan. Perkenankanlah saya mengulangi hal ini : mereka melayangkan mata ke langit, mereka menginjakkan kaki di bumi dan hati mereka tertunduk dalam penyembahan.

 

Pertama, mereka melayangkan mata ke langit. Para Majus dipenuhi dengan kerinduan akan hal yang tak terbatas, sehingga mereka menatap bintang-bintang di langit senja. Mereka tidak melewatkan hidup mereka dengan hanya menatap kaki mereka, mementingkan diri sendiri, terkekang oleh cakrawala duniawi, berjalan lamban dalam kepasrahan atau ratapan. Mereka mengangkat kepala tinggi-tinggi dan menantikan terang yang dapat menerangi makna kehidupan mereka, keselamatan yang datang dari tempat tinggi. Mereka kemudian melihat sebuah bintang, lebih terang dari bintang lainnya, yang membuat mereka terpesona dan membuat mereka memulai perjalanan. Di sini kita melihat kunci untuk menemukan makna kehidupan kita yang sebenarnya: jika kita tetap tertutup dalam batasan sempit hal-hal duniawi, jika kita tercampakkan, kepala tertunduk, tersandera oleh kegagalan dan penyesalan; jika kita haus akan kekayaan dan kenyamanan duniawi – yang ada saat ini dan sirna di esok hari – alih-alih menjadi pencari kehidupan dan cinta, hidup kita perlahan-lahan kehilangan cahayanya. Para Majus yang masih merupakan orang asing dan belum berjumpa Yesus, mengajarkan kita untuk menatap ke tempat tinggi, melayangkan mata ke langit, ke gunung-gunung, yang darinya pertolongan kita akan datang, karena pertolongan kita berasal dari Tuhan (bdk. Mzm 121:1-2).

 

Saudara-saudari, marilah kita melayangkan mata ke langit! Kita perlu mengangkat pandangan kita ke tempat tinggi, agar dapat melihat kenyataan dari tempat tinggi. Kita membutuhkan hal ini dalam perjalanan hidup kita, kita perlu membiarkan diri kita berjalan dalam persahabatan dengan Tuhan, kita membutuhkan kasih-Nya untuk menopang kita, dan cahaya sabda-Nya untuk membimbing kita, seperti bintang di malam hari. Kita perlu memulai perjalanan ini, sehingga iman kita tidak hanya sekadar kumpulan ibadah keagamaan atau sekadar penampilan lahiriah, namun malah menjadi api yang menyala-nyala di dalam diri kita, menjadikan kita pencari wajah Tuhan yang penuh gairah dan saksi-saksi Injil-Nya. Kita membutuhkan hal ini di dalam Gereja, di mana, alih-alih terpecah menjadi beberapa kelompok berdasarkan gagasan kita, kita dipanggil untuk menempatkan kembali Allah sebagai pusat. Kita perlu melepaskan ideologi-ideologi gerejawi agar kita dapat menemukan makna Gereja induk yang kudus, kebiasaan gerejawi. Ideologi gerejawi, tidak; panggilan gerejawi, ya. Tuhan, bukan gagasan atau proyek kitai, harus menjadi pusat. Marilah kita berangkat kembali dari Allah; marilah kita memohon kepada-Nya keberanian untuk tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan, kekuatan untuk mengatasi segala rintangan, kegembiraan untuk hidup dalam persekutuan yang rukun.

 

Para Majus tidak hanya memandangi bintang-bintang, benda-benda di tempat tinggi; mereka juga memiliki kaki yang melakukan perjalanan di bumi. Mereka berangkat ke Yerusalem dan bertanya, “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat 2:2). Satu hal: kaki mereka terhubung dengan kontemplasi. Bintang yang bersinar di langit mengutus mereka untuk melakukan perjalanan keliling dunia. Melayangkan pandangan mereka ke tempat tinggi, mereka dituntun untuk menurunkannya ke dunia ini. Mencari Allah, mereka dituntun untuk menemukannya dalam diri manusia, dalam diri seorang Anak kecil yang terbaring di palungan. Karena di sanalah Allah yang Maha Besar menyatakan diri-Nya: dalam yang kecil, yang tak terhingga kecilnya. Kita memerlukan kebijaksanaan, kita memerlukan pertolongan Roh Kudus, untuk memahami besar kecilnya perwujudan Allah.

 

Saudara-saudari, marilah kita terus melangkahkan kaki kita di muka bumi ini! Karunia iman diberikan kepada kita bukan untuk terus memandang ke langit (bdk. Kis 1:11), namun untuk melakukan perjalanan di sepanjang jalan dunia sebagai saksi Injil. Terang yang menerangi hidup kita, Tuhan Yesus, diberikan kepada kita bukan untuk menghangatkan malam kita, namun untuk membiarkan sinar terang menerobos bayang-bayang gelap yang menyelimuti begitu banyak situasi di masyarakat kita. Kita menemukan Allah yang datang mengunjungi kita, bukan dengan menikmati teori agama yang elegan, namun dengan melakukan perjalanan, mencari tanda-tanda kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari, dan yang terpenting dengan berjumpa dan menjamah tubuh saudara-saudari kita. Merenungkan Allah memang indah, namun baru membuahkan hasil jika kita mengambil risiko, risiko pelayanan membawa Allah kepada sesama. Para Majus berangkat mencari Allah, Allah yang agung, dan mereka menemukan seorang anak. Hal ini penting: menemukan Allah dalam daging dan tulang, dalam wajah orang-orang yang kita jumpai setiap hari, dan khususnya dalam diri orang-orang miskin. Para Majus mengajarkan kita bahwa perjumpaan dengan Allah selalu membuka kita pada kenyataan yang lebih besar, yang membuat kita mengubah cara hidup dan mengubah rupa dunia kita. Paus Benediktus XVI mengatakan, “Ketika harapan sejati tidak ada, kebahagiaan dicari dengan mabuk-mabukan, dalam hal-hal yang berlebihan, secara berlebihan, dan kita merusak diri kita dan dunia… Oleh karena itu, kita membutuhkan orang-orang yang membina harapan besar dan dengan demikian memiliki keberanian besar: keberanian para Majus, yang melakukan perjalanan jauh mengikuti sebuah bintang, dan mampu berlutut di hadapan seorang Anak dan memberikan kepada-Nya hadiah-hadiah berharga yang mereka bawa” (Homili, 6 Januari 2008).

 

Yang terakhir, marilah kita juga memikirkan bahwa para Majus memiliki hati yang tertunduk dalam penyembahan. Mereka mengamati bintang di langit, namun mereka tidak berlindung pada pengabdian dunia lain; mereka berangkat, tetapi mereka tidak berkelana seperti wisatawan yang tidak mempunyai tujuan. Mereka datang ke Betlehem, dan ketika mereka melihat anak itu, “mereka sujud menyembah Dia” (Mat 2:11). Kemudian mereka membuka tempat harta benda mereka dan mempersembahkan kepada-Nya emas, dupa dan mur. “Dengan pemberian mistik ini mereka memberitahukan jatidiri orang yang mereka sembah: dengan emas, mereka menyatakan bahwa Ia adalah seorang Raja; dengan dupa, Ia adalah Allah; dengan mur, Ia ditakdirkan untuk mati” (SANTO GREGORY THE GREAT, Hom. X dalam Evangelia, 6). Seorang Raja yang datang untuk melayani kita, seorang Dewa yang menjadi manusia. Di hadapan misteri ini, kita dipanggil untuk menundukkan hati dan bertekuk lutut dalam beribadah: menyembah Tuhan yang datang dalam kekecilan, yang diam di rumah kita, yang mati demi cinta. Tuhan yang, “meskipun dimanifestasikan oleh besarnya langit dan tanda-tanda bintang, memilih untuk ditemukan… di bawah atap yang rendah. Dalam tubuh lemah seorang anak yang baru lahir, dibungkus dengan lampin, dia disembah oleh orang Majus dan menimbulkan ketakutan pada orang jahat” (Santo Agustinus, Khotbah. 200). Saudara-saudari, kita telah kehilangan kebiasaan melakukan penyembahan, kita telah kehilangan kemampuan yang membuat kita memyembah. Marilah kita menemukan kembali selera kita akan doa penyembahan. Marilah kita mengakui Yesus sebagai Allah dan Tuhan kita, serta menyembah Dia. Hari ini para Majus mengundang kita untuk menyembah Dia. Saat ini ada kekurangan penyembahan di antara kita.

 

Saudara-saudari, seperti para Majus, marilah kita melayangkan pandangan kita ke surga, marilah kita berangkat mencari Tuhan, marilah kita menundukkan hati dalam penyembahan. Memandang ke langit, memulai perjalanan dan menyembah-Nya. Dan marilah kita memohon rahmat agar tidak pernah putus asa: keberanian menjadi pencari Allah, manusia pengharapan, pemimpi yang berani menatap langit, keberanian ketekunan dalam perjalanan menyusuri jalan dunia dengan keletihan perjalanan nyata, dan keberanian untuk menyembah, keberanian untuk menatap Tuhan yang mencerahkan setiap manusia. Semoga Tuhan menganugerahkan kita rahmat ini, terutama rahmat untuk mengetahui bagaimana cara menyembah.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Januari 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.